"Jawabnya ada di ujung langit.. Kita ke sana dengan seorang anak.. Anak yang tangkas, dan juga pemberani.."
...
...
Kenapa (masih) di Jogja?
Bagi para pecinta kata kebetulan, mungkin segala hal
yang terjadi dalam hidup ini dianggap sebagai kebetulan semata. Kita lahir di
tempat A, kebetulan. Kita punya sekian saudara, kebetulan. Kita kuliah di
universitas X, kebetulan. Kita bertemu dengan B, C, dan D, kebetulan. Semua serba
kebetulan saja, sehingga saat ditanya mengapa begini dan begitu kita lantas
menjawab,
“Ah...
kebetulan saja, hehe.”
Tapi
aku tidak.
Aku meyakini bahwa segala sesuatu
yang terjadi dalam hidup ini sudah diskenariokan dengan sangat detil dan rapih
oleh Sang Sutradara. Setiap scene
yang terjadi, pasti awalnya ditulis dalam script
yang rapih dan sudah dipikirkan masak-masak oleh sang pembuat cerita. Siapa lagi
kalau bukan Allah Subhanahu wa ta’ala?
Penggenggam semesta, yang tanpaNya; kita sama sekali bukan apa-apa. Bukan apa-apa.
Meskipun, dalam perjalanan saat take film, ada beberapa perubahan yang
terjadi pada script yang pada awalnya
dituliskan. Dunia menyebutnya sebagai improvisasi. Improvisasi ini terjadi
karena hal-hal di lapangan yang tak seideal script
yang dituliskan. Misalkan saja, tokoh A yang tak sama persis digambarkan
dalam script, sehingga perlu ada
sedikit perubahan. Film-film yang kisahnya diambil dari novel atau buku cerita
pun dipastikan tak ada yang sama persis sebagaimana novel aslinya. Begitu pula
kehidupan, adakalanya takdir bisa berubah karena usaha yang kita lakukan. Namun
pada akhirnya, pasti sesuai dengan apa yang telah Allah inginkan terjadi dalam
hidup. Ada yang memilih lurus-lurus saja menjemput takdirnya, ada pula yang
perlu melewati sekian jalan berkelok; meskipun pada akhirnya adalah sama.
Tentang Jogja; sebuah kota yang sama
sekali tak pernah terlintas di benakku sebelumnya. Ya, kota tujuan kuliah
semasa kecil dulu adalah Jakarta dan Bandung (bukan nama toko baju, ya :D). Ada
beberapa cabang ilmu yang aku tertarik untuk mempelajarinya di dua kota itu.
Namun ternyata, kota itulah tempat perahuku melabuh selama kuliah. Ada banyak
cerita di kota ini, yang apabila kutuliskan tentu akan jadi berpuluh bahkan
beratus lembar. Atau bahkan, berpuluh buku. Sebuah kota penuh dengan pelajaran,
penuh tempaan, dan aku yakin ‘ada sesuatu yang Allah inginkan’ di sini. Di tempat
ini.
Menjadi sebuah pertanyaan besar;
saat skripsi telah usai kuperjuangkan, kuliah telah finish kutuntaskan, namun
aku masih saja betah berada di kota ini. Ada apa?
Sebagian teman menanyakan. Sebagiannya
lagi menerka-nerka apa yang sedang kulakukan; kira-kira proyek besar apa yang
akan kujalankan di tempat ini; sehingga masih (saja mau) bertahan di kota
pelajar ini. Sisanya, membiarkan. Acuh tak acuh dan tak terlalu ambil pusing akan
kehadiranku yang sepertinya “menuh-menuhin jogja.”
Ada
proyek besar.
Pada
awalnya aku tak tahu, apakah benar jalan yang kupilih ini. Namun setelah ku
merenung agak panjang, kudiskusikan dengan Tuhan, agaknya untuk sementara waktu
–dan selanjutnya-, aku meneguhkan diriku: aku akan di sini untuk beberapa waktu
ke depan.
Ada sesuatu yang harus kutuntaskan. Ada garapan yang (masih)
menjadi tanggungan. Ada suatu hal yang sudah ku-iya-kan di awal, dan itu
menuntut konsekuensi yang mendalam. Dan, seperti biasa dan sebelum-sebelumnya;
aku bukanlah tipe anak yang mudah lari dalam suatu putaran masalah. Jika aku
sudah berkomitmen di awal, aku akan berusaha dengan sepenuh sungguh untuk
menyelesaikan. Walau kadang kelelahan, walau kadang terseok dan hampir jatuh;
aku akan terus berjalan.
Satu janjiNya yang kuingat; ini bukanlah tentang
doktrin yang telah menancap kuat. Ini adalah soal keyakinan atas janji-janjiNya
yang tak pernah ingkar. JanjiNya yang selalu benar dan tak menyalahi keadaan.
Intanshurullahu yan shurkum. Wa yu’ tsabit aqdamakum.Wahai orang-orang yang beriman, tolonglah agama Allah. Maka Allah akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu. Q.S Muhammad : 7.
Maka beribu pertanyaan; mengapa tak pulang? Apa pekerjaanmu?
Apa kesibukanmu? Apa yang kau lakukan? Dari orang-orang kebanyakan adalah
penguat hati; bahwa aku harus berusaha lebih keras lagi untuk bertahan di sini.
Jogja adalah surga Ilmu, aku tahu itu. Maka ya Allah,
di samping aku meminta diberi kekuatan untuk menyelesaikan apa yang telah
diamanahkan, anugerahilah aku waktu yang berkah dan ilmu yang bermanfaat. Aku masih
bodoh, aku masih jahil. Ada banyak ilmu agama yang belum kuketahui, ada banyak
tempat yang belum kusambangi, ada banyak hati yang belum keperhati. Maka,
selagi diberi kesempatan untuk lebih lama di tempat ini –yang mungkin juga
skenarioNya, agar aku belajar lebih sungguh sungguh lagi-, izinkanlah aku untuk
menjadi musafir ilmu itu. seorang musafir yang haus, yang selalu mau
melangkahkan kaki ke majelis-majelis ilmu. Seorang musafir haus yang tak
sombong dan merasa cukup dengan yang dipunyai. Musafir yang tak hanya mengumpul
ilmu namun juga bisa mengamalkan dan membagi pada banyak orang.
Semoga
aku tak salah langkah. Semoga apa yang kupilih ini memang benar.
Aku
takkan sendiri, Aku yakin ada Allah yang membimbingku.
Maka,
terimakasih kuucapkan pada kedua orangtuaku yang mendukungku dengan sepenuh
hati agar aku bertahan sedikit lebih lama di tempat ini.
Bertahan sebentar lagi, bersabar sedikit lagi.
Aku
tahu, bertahan itu tidaklah mudah. Bersabar itu membutuhkan raga dan hati yang
berpayah. Namun selepasnya, aku yakin akan ada sesuatu yang indah.
Akan
ada sesuatu yang indah.
Jika
tak kudapatkan di dunia ini, insyaAllah di akhirat nanti. Di bukit berbunga,
yang semua manusia mendamba bisa kekal selamanya di sana.
Rabbi,
izinkan aku bertahan.
Rabbi,
izinkan aku –di sisa waktu dan umuku- untuk senantiasa memperbaiki diri;
menjadi pribadi yang taqwa kepadaMu dengan sebenar-benar taqwa, dengan sepenuh
cinta. Ridhoi dan rahmatilah kami.
Satu
pintaku –seperti pinta yang dulu dulu-
Maka ya Allah, aku hanyalah selembar daun. Terbangkan aku kemana saja yang Kau mau. Tempatkan aku di mana saja yang Kau suka. Di manapun, Bersama siapapun.Asalkan tetap bersamaMu; asalkan selalu bisa didekatMu; asalkan selalu mendapat cinta dan ridho dariMu...
Yogyakarta, 1 September 2016
Rumah Cinta Asykar,
(Hanya) Seorang Musafir Ilmu,
Rizki Ageng Mardikawati.
//teman
seperjuangan
Namun kau takkan
sendiri,
ku ada di sini...
//untuk Allahku
untukMu aku akan
bertahan,
dalam gelap takkan
ku tinggalkan...
Aku udah serius pingin baca eh ternyata... wkwkwk Ukiiiii!
BalasHapusWkwk.. udah tak tulisin ituh mbaa dwis :p
Hapus